Selasa, 21 Juli 2009
Orok yang Ngilu
Tanda semiris pisau
Menancap di rahimrahim yang risau
Tak lama menggelepar muntah
Dan tanah
Dan tanah membujur
Batu menimbun
Tanda yang kau titipkan padaku
Kini lebur berubah abu
Terbang berhambur
Menyeberang suramadu yang katanya paling syur
Lalu
Bersama perdu yang lucu
Dan awan
Dan awan yang tersampar topan
Berseru menujumu
Menancap di rahimrahim yang risau
Tak lama menggelepar muntah
Dan tanah
Dan tanah membujur
Batu menimbun
Tanda yang kau titipkan padaku
Kini lebur berubah abu
Terbang berhambur
Menyeberang suramadu yang katanya paling syur
Lalu
Bersama perdu yang lucu
Dan awan
Dan awan yang tersampar topan
Berseru menujumu
Sajak Seorang Jalang
Api, tanah, udara
Kuterbekam dalam tubuhmu
Dan langit yang cedayam itu
Masih ngilu tertungkup nafsu
Batu, gunung, tebing
Api, tanah, udara
Kening yang kuseka
Adalah waktu yang menyala
Dan laut
Tetap saja haru biru
Dan pohon
Tetap saja mendengkur mengukung
Sedang jalan tak pernah ada terang
Aku dibesarkan
Dalam aroma gejolak prahara
Dan alunan biola gesek tua
Senantiasa menyentakku
Terus dan terus
Menggelontorkan butir butir mimpi yang tak ada arah tujuan
Api, tanah, udara
Dalam tubuhmu aku bernyawa
Sementara kau dengan sajak yang sesak
Menyelimutiku berpasak pasak
Dan aku tak mampu menyalak
Aku terbenam, dan aku terpasung
Sedang api masih punya nyali
Sedang tanah masih ada merah
Dan udara masih menyinga
Seperti wajah gurun sahara
Yang panas
Yang tandus
Yang badai
Lukaku adalah luka gores tinta yang sayu
Luka dari kotoran manusia, hewan, dan tai kota
Dan jalan ini
Adalah jalan waktu yang runcing menujuNya
Sedang aku hanya bergelanyutan
Seperti perdu terobok obok angin
Orang bebas berdaulat
Orang longgar berkata kata
Tetapi ingat
Daulat dan kata tetap saja aku saring maknanya
Api, tanah, udara
Sesekali engkau berpesta
Dengan wajah pirang coklat hampir menyala
Lalu
Selimut yang menutupi mukamu
Pelan,
Pelan,
Pelan, dan benar
Terlepas sedang pestamu berjumpalitan
Menimpuk bidukku yang jalang
Kuterbekam dalam tubuhmu
Dan langit yang cedayam itu
Masih ngilu tertungkup nafsu
Batu, gunung, tebing
Api, tanah, udara
Kening yang kuseka
Adalah waktu yang menyala
Dan laut
Tetap saja haru biru
Dan pohon
Tetap saja mendengkur mengukung
Sedang jalan tak pernah ada terang
Aku dibesarkan
Dalam aroma gejolak prahara
Dan alunan biola gesek tua
Senantiasa menyentakku
Terus dan terus
Menggelontorkan butir butir mimpi yang tak ada arah tujuan
Api, tanah, udara
Dalam tubuhmu aku bernyawa
Sementara kau dengan sajak yang sesak
Menyelimutiku berpasak pasak
Dan aku tak mampu menyalak
Aku terbenam, dan aku terpasung
Sedang api masih punya nyali
Sedang tanah masih ada merah
Dan udara masih menyinga
Seperti wajah gurun sahara
Yang panas
Yang tandus
Yang badai
Lukaku adalah luka gores tinta yang sayu
Luka dari kotoran manusia, hewan, dan tai kota
Dan jalan ini
Adalah jalan waktu yang runcing menujuNya
Sedang aku hanya bergelanyutan
Seperti perdu terobok obok angin
Orang bebas berdaulat
Orang longgar berkata kata
Tetapi ingat
Daulat dan kata tetap saja aku saring maknanya
Api, tanah, udara
Sesekali engkau berpesta
Dengan wajah pirang coklat hampir menyala
Lalu
Selimut yang menutupi mukamu
Pelan,
Pelan,
Pelan, dan benar
Terlepas sedang pestamu berjumpalitan
Menimpuk bidukku yang jalang
Langganan:
Komentar (Atom)
 
 
