Minggu, 06 Desember 2009

Kerdil Jenaka Tertawa di Sofa

Bertinggi tinggi mahkota berduduk
Berkaya kaya waktu dan ruang
Serta tidur bertilam uang
Makan tak lebih sepiring tak kenyang
Dengan lauk warna warni bertahta daging sapi
Berkilo kilo lemak mengumpat di tubuh
Rasanya air mata pun menjadi mampet
Ingin keluar tersumbat kepuasan

Berton ton gandum bersliweran
Di mana semua berhamburan
Bebas rasa hati iri tak pernah mati
Ada yang hidup di apartemen
Berkalung mutiara asli bunaken
Ada yang duduk di sofa berlapis sutera
Memandang panorama dengan khusuknya
Bersama bir dan selir selir pengundang birahi

Rasanya
Kita tak sadar
Bahwa kerdil ternyata adalah kita
Bahwa tak ada yang mampu sesumbar
Bahwa hidup ternyata penuh air mata
Bahwa air mata tak butuh harta
Bahwa hati lepas dari nafsunya
Bila suatu hari cobaan menimpa
Air mata berubah lautan duka
Dan kita adalah kerdil jenaka
Yang bermukim di negeri Kuasa

Selasa, 21 Juli 2009

Orok yang Ngilu

Tanda semiris pisau
Menancap di rahimrahim yang risau
Tak lama menggelepar muntah
Dan tanah
Dan tanah membujur
Batu menimbun


Tanda yang kau titipkan padaku
Kini lebur berubah abu
Terbang berhambur
Menyeberang suramadu yang katanya paling syur
Lalu
Bersama perdu yang lucu
Dan awan
Dan awan yang tersampar topan
Berseru menujumu

Sajak Seorang Jalang

Api, tanah, udara
Kuterbekam dalam tubuhmu

Dan langit yang cedayam itu
Masih ngilu tertungkup nafsu

Batu, gunung, tebing
Api, tanah, udara
Kening yang kuseka
Adalah waktu yang menyala
Dan laut
Tetap saja haru biru
Dan pohon
Tetap saja mendengkur mengukung
Sedang jalan tak pernah ada terang

Aku dibesarkan
Dalam aroma gejolak prahara
Dan alunan biola gesek tua
Senantiasa menyentakku
Terus dan terus
Menggelontorkan butir butir mimpi yang tak ada arah tujuan

Api, tanah, udara
Dalam tubuhmu aku bernyawa
Sementara kau dengan sajak yang sesak
Menyelimutiku berpasak pasak
Dan aku tak mampu menyalak

Aku terbenam, dan aku terpasung
Sedang api masih punya nyali
Sedang tanah masih ada merah
Dan udara masih menyinga
Seperti wajah gurun sahara
Yang panas
Yang tandus
Yang badai

Lukaku adalah luka gores tinta yang sayu
Luka dari kotoran manusia, hewan, dan tai kota
Dan jalan ini
Adalah jalan waktu yang runcing menujuNya
Sedang aku hanya bergelanyutan
Seperti perdu terobok obok angin

Orang bebas berdaulat
Orang longgar berkata kata
Tetapi ingat
Daulat dan kata tetap saja aku saring maknanya

Api, tanah, udara
Sesekali engkau berpesta
Dengan wajah pirang coklat hampir menyala
Lalu
Selimut yang menutupi mukamu
Pelan,
Pelan,
Pelan, dan benar
Terlepas sedang pestamu berjumpalitan
Menimpuk bidukku yang jalang

Jumat, 26 Juni 2009

seperti doa

puisiku menjalar kawah kawah gundah
mengesak pada dinding dinding kesah
menggelantung di ujung lidah
lalu menari di setiap lentik jari

puisiku seperti doa;
berkelana
menawarkan segala warna kebuncahan
yang selalu menyela dalam kehidupan

puisiku
bagai peluru yang membunuh kutukan
peluru yang meliuk
menancap di langit tinggi
memecah cakrawala lalu
mengeluarkan beban yang ada
hingga mulut rontok tak berasa

seperti doa
puisiku keluar melewati jendela jendela yang usang
terbang mengambang
di riak katakata
lalu berkumpul di rak rak persimpuhan

Surat Malam

Aku mencintai gemericik angin
Aku mencintai denting daun
Aku mencintai malam
Sebab siang jalan penuh umpatan

Aku mencintai degup rembulan
Aku mencintai celoteh jangkrik
Aku mencintai malam
Sebab siang menawarkan kebohongan

Aku mencintai malam
Yang riuh nyanyian alam
Dengan segala lantunan nada