Jumat, 26 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
temani aku menyiram kata malam ini agar menjadi sebuah sajak yang rindang esok hari
            Kejujuran berharga mahal. Semahal daging sapi dipasaran. Mungkin lebih mahal lagi, sampai-sampai harga diripun dibarter dengannya. Kita tak pernah tau seperti apa bentuk kejujuran itu. Yang kita tau hanya angan-angan kapan datangnya kejujuran. Percaya atau tidak, mari kita rasakan dan pikirkan bersama. 
            Dalam sehari, kita menjalankan berpuluh-puluh aktivitas, seperti tidur, berjalan, makan, bicara, tertawa, merokok (bagi yang merokok), dan masih banyak lagi. Segala macam aktivitas tersebut, ternyata ada yang hitam dan ada yang putih. Maksudnya adalah bahwa setiap kita melakukan aktivitas tersebut, apakah sudah tertancap kejujuran di dalamnya? Jika pekerjaan kita tak jujur, berarti pekerjaan itu hitam. Tapi jika pekerjaan kita jujur, berarti pekerjaan kita putih. Misalnya saja saat kita tidur. Kita bisa saja pura-pura tidur karena ada pekerjaan yang mungkin malas untuk kita kerjakan. Atau mungkin ada teman kita yang bertamu, tetapi kita pura-pura tidur karena tidak mau menemuinya. Jika seperti itu adanya, berarti kita sudah melewatkan satu kejujuran dan pekerjaan kita menjadi hitam. Dalam hal ini, kejujuran telah termakan kepura-puraan yang mungkin saja membuat kita bahagia, karena merasa telah bebas dari ‘gangguan-gangguan’ yang ada. 
            Banyak orang justru bahagia setelah melakukan ‘pembohongan’ pada orang lain. Tidak usah menyangkal atau mengelak. Sebab kita sendiripun pasti sering melakukan hal itu. Namun apakah kebohongan selalu jelek dan kejujuran selalu baik? Bagi orang yang mau berpikir, tentu akan menjawab “Belum tentu”. Namun jika yang menjawab para radikal atau kaum kolot, tentu saja jawabannya “Ya”. Lantas kita ada di pihak mana? Yang mau berpikir, atau para radikal atau kaum kolot?
            Pernah suatu kali di zaman Nabi terjadi pembohongan yang mungkin bisa saya sebut sebagai sebuah kebenaran dan harus dilakukan. Saat itu Nabi sedang dicari orang yang ingin membunuhnya. Namun karena saat itu ada seorang sahabat Nabi yang mempunyai hati dan pikiran bagus, sahabat hanya bilang kalau Nabi tidak sedang ada di rumah. Padahal saat itu Nabi sedang berada di dalam rumah. Sahabat tersebut terpaksa harus mengatakan tak jujur karena kalau sampai ia berkata jujur, maka nyawa Sang Nabi akan terancam. Masih banyak cerita lagi yang ada di sekitar kita, atau bahkan kita sendiri pernah mengalami hal seperti itu.
            Dari cerita-cerita seperti itulah, sebenarnya banyak sekali hikmah yang bisa kita petik. Bahwa sesungguhnya kejujuran itu kadang harus terkontaminasi dengan kebohongan untuk melindungi sebuah kebenaran. Jadi menurut pandangan saya, kebohongan itu tak selamanya menjadi cermin kejelekan. Begitu juga sebaliknya, tak selamanya kejujuran itu menjadi cermin dari kebaikan. Lantas, anda berada di pihak yang mana? 
            Sayangnya, yang terjadi sekarang ini adalah kejujuran ‘pura-pura’ tanpa dilandasi hati dan pikiran yang baik. Budaya masyarakat kita yang selalu ingin dipuji, dielu-elukan, dihargai, dihormati, dan dipuja, telah menjadikan harga diri sebagai taruhan untuk sekadar menutupi kebohongan-kebohongan yang ada. Dari situlah, makna kejujuran menjadi samar dan tak asli lagi. Sebab banyak sekali yang berkata jujur dan apa adanya, tetapi tidak dilandasi dengan hati nurani yang jujur pula. Oleh karena itu, hati nurani mempunyai peran yang amat penting dalam hidup kita. Penggabungan antara hati nurani dan pikiran akan menimbulkan kekuatan yang tak ada tandingnya. Jadi, bukan hanya kita bermain pikiran semata. Permainkan hati kita dengan rasa yang indah, agar perjalanan hidup kita menjadi indah juga. Otak menjadi sasaran kedua, setelah hati kita benar-benar sempurna dan mampu menguasai diri kita. 
            Berangkat dari situlah, kita mulai benar-benar mencermati apa itu kejujuran yang hakiki. Kejujuran yang bukan hanya resmi diartikan mentah, yang biasa kita dengar selama ini. Kejujuran yang bukan hanya muncul melalui pemikiran panjang, yang melibatkan pemusatan pada otak, tetapi kejujuran dilandasi oleh hati yang suci. Selain itu, munculnya kejujuran juga dipengaruhi oleh keadaan sekitar dan apa yang sedang dihadapi.  
Tidak ada komentar:
Posting Komentar