Sabtu, 30 Mei 2009
Plot Mati
Telah datang memberimu sinar
Dalam cadar
Lampu remang
Mata buyar
Kelam
Telah datang memberimu kabar
Dalam gelap
Lampu padam
Mata lelap
Kelam
Telah datang mengambil bagian
Dalam sepi
Lampu mati
Mata sudi
Nyeri
Telah datang mengambil jiwa
Dalam nyawa
Lampu pecah
Terbang tinggi
Mati
Dalam cadar
Lampu remang
Mata buyar
Kelam
Telah datang memberimu kabar
Dalam gelap
Lampu padam
Mata lelap
Kelam
Telah datang mengambil bagian
Dalam sepi
Lampu mati
Mata sudi
Nyeri
Telah datang mengambil jiwa
Dalam nyawa
Lampu pecah
Terbang tinggi
Mati
Minggu, 24 Mei 2009
enam lima ku
65 ku yang tak pernah tersibak
di tengah rimbunan sanak cendana
ibu…
bisikkan padaku tentang ‘65
tentang kebenaran yang dimakamkan jauh ke dasar
bumi
pagi sebelum terik,
pagi yang buta warna,
matahari belum beranjak dari tidurnya,
dingin, gelap berselimut kabut.
dan tentang pemberangusan arit dan clurit
yang mendepak kolonialis dan kapitalis
sebab,
sejarah membutakanku dengan syair-syairnya
yang merdu
Ketelingaku, ibu…
Jangan biarkan mereka nguping
Kita berdua yang empat mata
Lirih saja…
Lirih saja, ibu
Karena aku tau
Engkau takut diberanguskan juga
Walau kita sudah jauh dari orba
Atau kalau perlu, kuambilkan pahat dan secarik kertas
Biar kau ukir di atasnya
Gundah gulita yang kau pendam puluhan tahun
“dulu kami sering tunggang langgang
sambil terkencing-kencing diantara peluh kesah,
tangis pekik, dan jutaan longsongan mayat.
Juga lautan merah yang hinggap di Indonesia.”
di tengah rimbunan sanak cendana
ibu…
bisikkan padaku tentang ‘65
tentang kebenaran yang dimakamkan jauh ke dasar
bumi
pagi sebelum terik,
pagi yang buta warna,
matahari belum beranjak dari tidurnya,
dingin, gelap berselimut kabut.
dan tentang pemberangusan arit dan clurit
yang mendepak kolonialis dan kapitalis
sebab,
sejarah membutakanku dengan syair-syairnya
yang merdu
Ketelingaku, ibu…
Jangan biarkan mereka nguping
Kita berdua yang empat mata
Lirih saja…
Lirih saja, ibu
Karena aku tau
Engkau takut diberanguskan juga
Walau kita sudah jauh dari orba
Atau kalau perlu, kuambilkan pahat dan secarik kertas
Biar kau ukir di atasnya
Gundah gulita yang kau pendam puluhan tahun
“dulu kami sering tunggang langgang
sambil terkencing-kencing diantara peluh kesah,
tangis pekik, dan jutaan longsongan mayat.
Juga lautan merah yang hinggap di Indonesia.”
aku dan malam
Malam
Kekasih setia tak pernah padam
Selimut hangat
Yang memelukku sebelum terang
Kujanjikan kau tenang
Sebelum kokok ayam diperlintasan teram
Di sana
Secuil percik memancar
Teram temaram lampu atap biru
Lihat
Semua bukan ulahmu
Tuhan lah yang berhak atas itu
Pengatur korden-korden rindu semu
Malam
Selembar kain hitam
Mengurungku seperti drama panggung
Adegan satu hilang
Yang dua datang
Silih berganti
Sampai esok
Sampai aku tak tau kapan waktu
Sungguh engkaulah
bukan lain lagi di hati
Pucuk asmara
Lorong-lorong mencekam
Seperti itulah aku bicara pada malam
Selalu kutemukan kejelasan tentang kehidupan
Katakataku yang tak terlalu manis juga tak pedas
Menghantarkan setiap jengkal ucapan
Tak merdu
Pun sumbang pastinya
Namun malam tetap menyukainya. Hanya dia
Ya hanya dia yang tau ketololanku
(untuk aku dan malam)
Kekasih setia tak pernah padam
Selimut hangat
Yang memelukku sebelum terang
Kujanjikan kau tenang
Sebelum kokok ayam diperlintasan teram
Di sana
Secuil percik memancar
Teram temaram lampu atap biru
Lihat
Semua bukan ulahmu
Tuhan lah yang berhak atas itu
Pengatur korden-korden rindu semu
Malam
Selembar kain hitam
Mengurungku seperti drama panggung
Adegan satu hilang
Yang dua datang
Silih berganti
Sampai esok
Sampai aku tak tau kapan waktu
Sungguh engkaulah
bukan lain lagi di hati
Pucuk asmara
Lorong-lorong mencekam
Seperti itulah aku bicara pada malam
Selalu kutemukan kejelasan tentang kehidupan
Katakataku yang tak terlalu manis juga tak pedas
Menghantarkan setiap jengkal ucapan
Tak merdu
Pun sumbang pastinya
Namun malam tetap menyukainya. Hanya dia
Ya hanya dia yang tau ketololanku
(untuk aku dan malam)
di atas bumi gaza
ini hanya sejumpit kisah
kami torehkan
dalam hari yang hambar
tak pernah tercium bau
wangi embun pagi
Shubuh yang dingin
Embun menyergap erat
Sedang di langit rembulan nampak semu menggelantung.
rumput senja yang penuh bubuk
pun mengalirkan aroma tak sedap
sedang para binatang neraka naik
menuju peraduannya
di atas bumi gaza
kami yang hidup antara bulan merah
kami yang hidup di atas ranah kebisingan
pelangi hanya dua warna
putih dan biru
langit hanya satu warna
merah
udara hanya satu rasa
gerah
sedang jalan hanya lubang-lubang kesengsaraan
bisik pekik melayang ke setiap telinga
tangis kehampaan meradang di pojok-pojok reruntuhan
ujung ke ujung tanpa henti
deru mesium berdentum
derik ekor ular gurun beku
kerlip bintang laun memudar
lenyap
ditelan pancaran kembang senapan
di langit dimensi tiga
kau gelar pertunjukannya
nyanyian sepi bidadari surga
warna-warni bocah ingusan tak berdosa
terkapar membelalak matanya
menggelombang bersama bayang-bayang masa depan
darah mengalir memenuhi tubuhnya
banjir tuhan menelannya
kami torehkan
dalam hari yang hambar
tak pernah tercium bau
wangi embun pagi
Shubuh yang dingin
Embun menyergap erat
Sedang di langit rembulan nampak semu menggelantung.
rumput senja yang penuh bubuk
pun mengalirkan aroma tak sedap
sedang para binatang neraka naik
menuju peraduannya
di atas bumi gaza
kami yang hidup antara bulan merah
kami yang hidup di atas ranah kebisingan
pelangi hanya dua warna
putih dan biru
langit hanya satu warna
merah
udara hanya satu rasa
gerah
sedang jalan hanya lubang-lubang kesengsaraan
bisik pekik melayang ke setiap telinga
tangis kehampaan meradang di pojok-pojok reruntuhan
ujung ke ujung tanpa henti
deru mesium berdentum
derik ekor ular gurun beku
kerlip bintang laun memudar
lenyap
ditelan pancaran kembang senapan
di langit dimensi tiga
kau gelar pertunjukannya
nyanyian sepi bidadari surga
warna-warni bocah ingusan tak berdosa
terkapar membelalak matanya
menggelombang bersama bayang-bayang masa depan
darah mengalir memenuhi tubuhnya
banjir tuhan menelannya
Suatu Saat
Ibu
jika waktu nanti aku kembali
sedang daun-daun tak turun dari tubuhnya
sulamlah namaku pada daun-daun itu
aku ingin menikmati masa sunyi bersama angin
cericit burung dan rebahan embun
yang membasahi setiap lekuk huruf
dan mengalirkan dosa, membuangnya,
lalu mensucikan namaku
hari ini tak lain hari esok
seperti berada dalam selimut mimpi
tak berkaki
Ibu
jika aku kembali dalam sunyi
bertatap muka Sang Segala
yang aku berada di dalamnya
sematkan tubuhku dengan lembut
dengan cinta yang ku pinta
Ibu
jika suatu hari aku mendahuluimu
jangan pernah mengaduh
“Tuhan tak adil”
jangan pernah menuduh
“Tuhan salah orang”
hari ini tak kembali
mungkin lusa atau nanti
jika waktu nanti aku kembali
sedang daun-daun tak turun dari tubuhnya
sulamlah namaku pada daun-daun itu
aku ingin menikmati masa sunyi bersama angin
cericit burung dan rebahan embun
yang membasahi setiap lekuk huruf
dan mengalirkan dosa, membuangnya,
lalu mensucikan namaku
hari ini tak lain hari esok
seperti berada dalam selimut mimpi
tak berkaki
Ibu
jika aku kembali dalam sunyi
bertatap muka Sang Segala
yang aku berada di dalamnya
sematkan tubuhku dengan lembut
dengan cinta yang ku pinta
Ibu
jika suatu hari aku mendahuluimu
jangan pernah mengaduh
“Tuhan tak adil”
jangan pernah menuduh
“Tuhan salah orang”
hari ini tak kembali
mungkin lusa atau nanti
Senin, 11 Mei 2009
bodoh : rembulan
sebab apa kau begitu setia pada malam
sedang tubuhmu hanya semu
mungkin bisa kukatakan “kau tak lebih dari barang mainan”
tak seindah seperti yang kubayangkan waktu kecil
lantas
apa Tuhan mengajarimu kesetiaan
Oo..
nasibmu mungkin tak seperti nasibku
aku bisa mengubahnya sewaktu-waktu
aku ingin duduk, bersandar, tiduran, makan, minum, berjalan, sesukaku
bahkan kalau ada perempuan, aku pun bisa menidurinya
Oo.. alangkah indahnya hidup
berasa nyaman tanpa ada penggoda datang
apa kau tak iri padaku
jangan-jangan kau ingin menerkamku dari belakang
menunggu titik lemahku
lalu
haapp… seperti nyamuk menjilat mangsanya
Lantas
berapa juta kopi yang kau tenggak
berapa juta pil dingin yang kau kunyah
berapa juta selimut yang kau pakai
kalau kau sakit lalu terkapar,
sebab dingin selalu menusuk tulangmu,
apa esok kau masih setia padanya
sudahlah rembulan
kau tak perlu memaksakan diri
tak baik jika kau begadang tiap malam
lihat, wajahmu banyak lubang dan mungkin jerawat
sekujur tubuhmu pucat
darah mengendat
air mata pun tak lagi kau punya
sedang tubuhmu hanya semu
mungkin bisa kukatakan “kau tak lebih dari barang mainan”
tak seindah seperti yang kubayangkan waktu kecil
lantas
apa Tuhan mengajarimu kesetiaan
Oo..
nasibmu mungkin tak seperti nasibku
aku bisa mengubahnya sewaktu-waktu
aku ingin duduk, bersandar, tiduran, makan, minum, berjalan, sesukaku
bahkan kalau ada perempuan, aku pun bisa menidurinya
Oo.. alangkah indahnya hidup
berasa nyaman tanpa ada penggoda datang
apa kau tak iri padaku
jangan-jangan kau ingin menerkamku dari belakang
menunggu titik lemahku
lalu
haapp… seperti nyamuk menjilat mangsanya
Lantas
berapa juta kopi yang kau tenggak
berapa juta pil dingin yang kau kunyah
berapa juta selimut yang kau pakai
kalau kau sakit lalu terkapar,
sebab dingin selalu menusuk tulangmu,
apa esok kau masih setia padanya
sudahlah rembulan
kau tak perlu memaksakan diri
tak baik jika kau begadang tiap malam
lihat, wajahmu banyak lubang dan mungkin jerawat
sekujur tubuhmu pucat
darah mengendat
air mata pun tak lagi kau punya
Langganan:
Komentar (Atom)
 
 
