Minggu, 24 Mei 2009
enam lima ku
65 ku yang tak pernah tersibak
di tengah rimbunan sanak cendana
ibu…
bisikkan padaku tentang ‘65
tentang kebenaran yang dimakamkan jauh ke dasar
bumi
pagi sebelum terik,
pagi yang buta warna,
matahari belum beranjak dari tidurnya,
dingin, gelap berselimut kabut.
dan tentang pemberangusan arit dan clurit
yang mendepak kolonialis dan kapitalis
sebab,
sejarah membutakanku dengan syair-syairnya
yang merdu
Ketelingaku, ibu…
Jangan biarkan mereka nguping
Kita berdua yang empat mata
Lirih saja…
Lirih saja, ibu
Karena aku tau
Engkau takut diberanguskan juga
Walau kita sudah jauh dari orba
Atau kalau perlu, kuambilkan pahat dan secarik kertas
Biar kau ukir di atasnya
Gundah gulita yang kau pendam puluhan tahun
“dulu kami sering tunggang langgang
sambil terkencing-kencing diantara peluh kesah,
tangis pekik, dan jutaan longsongan mayat.
Juga lautan merah yang hinggap di Indonesia.”
di tengah rimbunan sanak cendana
ibu…
bisikkan padaku tentang ‘65
tentang kebenaran yang dimakamkan jauh ke dasar
bumi
pagi sebelum terik,
pagi yang buta warna,
matahari belum beranjak dari tidurnya,
dingin, gelap berselimut kabut.
dan tentang pemberangusan arit dan clurit
yang mendepak kolonialis dan kapitalis
sebab,
sejarah membutakanku dengan syair-syairnya
yang merdu
Ketelingaku, ibu…
Jangan biarkan mereka nguping
Kita berdua yang empat mata
Lirih saja…
Lirih saja, ibu
Karena aku tau
Engkau takut diberanguskan juga
Walau kita sudah jauh dari orba
Atau kalau perlu, kuambilkan pahat dan secarik kertas
Biar kau ukir di atasnya
Gundah gulita yang kau pendam puluhan tahun
“dulu kami sering tunggang langgang
sambil terkencing-kencing diantara peluh kesah,
tangis pekik, dan jutaan longsongan mayat.
Juga lautan merah yang hinggap di Indonesia.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
 
 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar