Minggu, 06 Desember 2009
Kerdil Jenaka Tertawa di Sofa
Bertinggi tinggi mahkota berduduk 
Berkaya kaya waktu dan ruang
Serta tidur bertilam uang
Makan tak lebih sepiring tak kenyang
Dengan lauk warna warni bertahta daging sapi
Berkilo kilo lemak mengumpat di tubuh
Rasanya air mata pun menjadi mampet
Ingin keluar tersumbat kepuasan
Berton ton gandum bersliweran
Di mana semua berhamburan
Bebas rasa hati iri tak pernah mati
Ada yang hidup di apartemen
Berkalung mutiara asli bunaken
Ada yang duduk di sofa berlapis sutera
Memandang panorama dengan khusuknya
Bersama bir dan selir selir pengundang birahi
Rasanya
Kita tak sadar
Bahwa kerdil ternyata adalah kita
Bahwa tak ada yang mampu sesumbar
Bahwa hidup ternyata penuh air mata
Bahwa air mata tak butuh harta
Bahwa hati lepas dari nafsunya
Bila suatu hari cobaan menimpa
Air mata berubah lautan duka
Dan kita adalah kerdil jenaka
Yang bermukim di negeri Kuasa
Berkaya kaya waktu dan ruang
Serta tidur bertilam uang
Makan tak lebih sepiring tak kenyang
Dengan lauk warna warni bertahta daging sapi
Berkilo kilo lemak mengumpat di tubuh
Rasanya air mata pun menjadi mampet
Ingin keluar tersumbat kepuasan
Berton ton gandum bersliweran
Di mana semua berhamburan
Bebas rasa hati iri tak pernah mati
Ada yang hidup di apartemen
Berkalung mutiara asli bunaken
Ada yang duduk di sofa berlapis sutera
Memandang panorama dengan khusuknya
Bersama bir dan selir selir pengundang birahi
Rasanya
Kita tak sadar
Bahwa kerdil ternyata adalah kita
Bahwa tak ada yang mampu sesumbar
Bahwa hidup ternyata penuh air mata
Bahwa air mata tak butuh harta
Bahwa hati lepas dari nafsunya
Bila suatu hari cobaan menimpa
Air mata berubah lautan duka
Dan kita adalah kerdil jenaka
Yang bermukim di negeri Kuasa
Selasa, 21 Juli 2009
Orok yang Ngilu
Tanda semiris pisau
Menancap di rahimrahim yang risau
Tak lama menggelepar muntah
Dan tanah
Dan tanah membujur
Batu menimbun
Tanda yang kau titipkan padaku
Kini lebur berubah abu
Terbang berhambur
Menyeberang suramadu yang katanya paling syur
Lalu
Bersama perdu yang lucu
Dan awan
Dan awan yang tersampar topan
Berseru menujumu
Menancap di rahimrahim yang risau
Tak lama menggelepar muntah
Dan tanah
Dan tanah membujur
Batu menimbun
Tanda yang kau titipkan padaku
Kini lebur berubah abu
Terbang berhambur
Menyeberang suramadu yang katanya paling syur
Lalu
Bersama perdu yang lucu
Dan awan
Dan awan yang tersampar topan
Berseru menujumu
Sajak Seorang Jalang
Api, tanah, udara
Kuterbekam dalam tubuhmu
Dan langit yang cedayam itu
Masih ngilu tertungkup nafsu
Batu, gunung, tebing
Api, tanah, udara
Kening yang kuseka
Adalah waktu yang menyala
Dan laut
Tetap saja haru biru
Dan pohon
Tetap saja mendengkur mengukung
Sedang jalan tak pernah ada terang
Aku dibesarkan
Dalam aroma gejolak prahara
Dan alunan biola gesek tua
Senantiasa menyentakku
Terus dan terus
Menggelontorkan butir butir mimpi yang tak ada arah tujuan
Api, tanah, udara
Dalam tubuhmu aku bernyawa
Sementara kau dengan sajak yang sesak
Menyelimutiku berpasak pasak
Dan aku tak mampu menyalak
Aku terbenam, dan aku terpasung
Sedang api masih punya nyali
Sedang tanah masih ada merah
Dan udara masih menyinga
Seperti wajah gurun sahara
Yang panas
Yang tandus
Yang badai
Lukaku adalah luka gores tinta yang sayu
Luka dari kotoran manusia, hewan, dan tai kota
Dan jalan ini
Adalah jalan waktu yang runcing menujuNya
Sedang aku hanya bergelanyutan
Seperti perdu terobok obok angin
Orang bebas berdaulat
Orang longgar berkata kata
Tetapi ingat
Daulat dan kata tetap saja aku saring maknanya
Api, tanah, udara
Sesekali engkau berpesta
Dengan wajah pirang coklat hampir menyala
Lalu
Selimut yang menutupi mukamu
Pelan,
Pelan,
Pelan, dan benar
Terlepas sedang pestamu berjumpalitan
Menimpuk bidukku yang jalang
Kuterbekam dalam tubuhmu
Dan langit yang cedayam itu
Masih ngilu tertungkup nafsu
Batu, gunung, tebing
Api, tanah, udara
Kening yang kuseka
Adalah waktu yang menyala
Dan laut
Tetap saja haru biru
Dan pohon
Tetap saja mendengkur mengukung
Sedang jalan tak pernah ada terang
Aku dibesarkan
Dalam aroma gejolak prahara
Dan alunan biola gesek tua
Senantiasa menyentakku
Terus dan terus
Menggelontorkan butir butir mimpi yang tak ada arah tujuan
Api, tanah, udara
Dalam tubuhmu aku bernyawa
Sementara kau dengan sajak yang sesak
Menyelimutiku berpasak pasak
Dan aku tak mampu menyalak
Aku terbenam, dan aku terpasung
Sedang api masih punya nyali
Sedang tanah masih ada merah
Dan udara masih menyinga
Seperti wajah gurun sahara
Yang panas
Yang tandus
Yang badai
Lukaku adalah luka gores tinta yang sayu
Luka dari kotoran manusia, hewan, dan tai kota
Dan jalan ini
Adalah jalan waktu yang runcing menujuNya
Sedang aku hanya bergelanyutan
Seperti perdu terobok obok angin
Orang bebas berdaulat
Orang longgar berkata kata
Tetapi ingat
Daulat dan kata tetap saja aku saring maknanya
Api, tanah, udara
Sesekali engkau berpesta
Dengan wajah pirang coklat hampir menyala
Lalu
Selimut yang menutupi mukamu
Pelan,
Pelan,
Pelan, dan benar
Terlepas sedang pestamu berjumpalitan
Menimpuk bidukku yang jalang
Jumat, 26 Juni 2009
seperti doa
puisiku menjalar kawah kawah gundah
mengesak pada dinding dinding kesah
menggelantung di ujung lidah
lalu menari di setiap lentik jari
puisiku seperti doa;
berkelana
menawarkan segala warna kebuncahan
yang selalu menyela dalam kehidupan
puisiku
bagai peluru yang membunuh kutukan
peluru yang meliuk
menancap di langit tinggi
memecah cakrawala lalu
mengeluarkan beban yang ada
hingga mulut rontok tak berasa
seperti doa
puisiku keluar melewati jendela jendela yang usang
terbang mengambang
di riak katakata
lalu berkumpul di rak rak persimpuhan
mengesak pada dinding dinding kesah
menggelantung di ujung lidah
lalu menari di setiap lentik jari
puisiku seperti doa;
berkelana
menawarkan segala warna kebuncahan
yang selalu menyela dalam kehidupan
puisiku
bagai peluru yang membunuh kutukan
peluru yang meliuk
menancap di langit tinggi
memecah cakrawala lalu
mengeluarkan beban yang ada
hingga mulut rontok tak berasa
seperti doa
puisiku keluar melewati jendela jendela yang usang
terbang mengambang
di riak katakata
lalu berkumpul di rak rak persimpuhan
Surat Malam
Aku mencintai gemericik angin
Aku mencintai denting daun
Aku mencintai malam
Sebab siang jalan penuh umpatan
Aku mencintai degup rembulan
Aku mencintai celoteh jangkrik
Aku mencintai malam
Sebab siang menawarkan kebohongan
Aku mencintai malam
Yang riuh nyanyian alam
Dengan segala lantunan nada
Aku mencintai denting daun
Aku mencintai malam
Sebab siang jalan penuh umpatan
Aku mencintai degup rembulan
Aku mencintai celoteh jangkrik
Aku mencintai malam
Sebab siang menawarkan kebohongan
Aku mencintai malam
Yang riuh nyanyian alam
Dengan segala lantunan nada
Rabu, 17 Juni 2009
Tarian Pena
Aku ingin mengawali sajak ini
Dengan pena tengadah dan
menantang semua kata dalam otakku
Namun, pada siapa kutohokkan pena ini?
Pada langit yang maha megah?
Pada hujan yang berlari kencang?
Pada embun kebisuan pagi?
Ataukah,
aku titipkan pada angin
hingga membawanya ke pelupuk matamu dan
menuliskan sajak pada putih yang selama ini kukenal baunya
kukenang beningnya dan kuhafal tajamnya?
Bukan.
Aku ingin mengawali sajak ini
Dengan pena menari
Pada selembar laut
yang tenang meliuk pelan
Meraba tentang makna yang lugu lalu
Membiarkannya menelan butirbutir api
yang dingin melangkahi akalku
Dengan pena tengadah dan
menantang semua kata dalam otakku
Namun, pada siapa kutohokkan pena ini?
Pada langit yang maha megah?
Pada hujan yang berlari kencang?
Pada embun kebisuan pagi?
Ataukah,
aku titipkan pada angin
hingga membawanya ke pelupuk matamu dan
menuliskan sajak pada putih yang selama ini kukenal baunya
kukenang beningnya dan kuhafal tajamnya?
Bukan.
Aku ingin mengawali sajak ini
Dengan pena menari
Pada selembar laut
yang tenang meliuk pelan
Meraba tentang makna yang lugu lalu
Membiarkannya menelan butirbutir api
yang dingin melangkahi akalku
Senin, 15 Juni 2009
Dik,
se detik berlalu
Tuhan
Sebelum Kau akhiri waktuku
Izinkan kutulis seuntai kata
Pada lembar putih suratku ini
“Yang terkasih jauh dari pandang. Yang terkasih dekat dengan hati. Hidup adalah karang di lautan. Tertendang,tertimpuk,terterjang,dan terhempas. Suatu saat akan roboh, hancur, dan berhamburan, menyatu dengan tanah, pasir, dan bebatuan.”
Tuhan
kupinta waktu se detik lagi
suratku belum kuakhiri
sebab esok tak tau lagi
“Yang tersayang sejauh bintang. Yang tersayang selalu terang. Aku bagai pasir tertampar angin. Aku bagai busur termakan lajur. Terombang-ambing seperti daun kering. Namun, aku tau. Jika kelak waktumu terkikis tipis, perahu cintamu tak akan terdayung terhuyung.”
Tuhan
Sebelum Kau sudahi waktuku
Sebelum se detik berlalu
Kupinta padaMu
“Jangan ia layu termakan waktu”
Semarang, 21052009
00.19
Sebelum Kau akhiri waktuku
Izinkan kutulis seuntai kata
Pada lembar putih suratku ini
“Yang terkasih jauh dari pandang. Yang terkasih dekat dengan hati. Hidup adalah karang di lautan. Tertendang,tertimpuk,terterjang,dan terhempas. Suatu saat akan roboh, hancur, dan berhamburan, menyatu dengan tanah, pasir, dan bebatuan.”
Tuhan
kupinta waktu se detik lagi
suratku belum kuakhiri
sebab esok tak tau lagi
“Yang tersayang sejauh bintang. Yang tersayang selalu terang. Aku bagai pasir tertampar angin. Aku bagai busur termakan lajur. Terombang-ambing seperti daun kering. Namun, aku tau. Jika kelak waktumu terkikis tipis, perahu cintamu tak akan terdayung terhuyung.”
Tuhan
Sebelum Kau sudahi waktuku
Sebelum se detik berlalu
Kupinta padaMu
“Jangan ia layu termakan waktu”
Semarang, 21052009
00.19
Semesta Pikun
Tentang laut yang terbahak
Tentang langit yang menari
Tentang tanah yang bernyanyi
Segala bahagia lenyap sudah
Berhimpit detak awan dan angin
Waktu berkeliaran tak tentu
Menyapa ilalang yang gersang dari sudut kota itu
Inilah zaman keasingan
Di mana semesta lupa waktunya
Semesta yang pikun
Menelanjangi catatan-catatan astronomi
Memerkosa para ahli theologi
Dan
Menelan garis garis peredaran
(Laut terbahak tersendak-sendak
Langit menari tak tau diri
Tanah bernyanyi sesuka hati
Bagai purnama di siang telanjang
Bagai pelangi di shubuh hari)
Oo siang yang dangkal
Tangismu disaksikan bebatuan
Nafasmu mengunyah dedaunan
Memisahkan percumbuan ular berpantat tebal
Yang tak hirau akan nalar pikiran
Oo malam yang dalam
Kau hadir sebagai lakon tak diundang
Dengan mata keranjang
Mencumbu bibir siang
Yang belum genap umurnya
Lalu,
Dengan kuat kau meniduri dan menghimpitnya
Seperti malam pertama jejaka tua
Inilah zaman keasingan
Di mana semesta lupa waktunya
Langit bagai kertas percetakan
Muncul berjuta catatan dan lautan warna
Merias wajah bahagia
jadi kalut penuh duka
Semarang 1206009
Kamis, 04 Juni 2009
Air Mata
Air mataku mengalir
menyusup melewati sela-sela kosong
lalu turun mendekati hidung
Air mataku mengalir
berjalan pelan
masuk menusuk
Ruh
Air mataku
Bagai ruh
Bagai ruh
mambunuh
menyusup melewati sela-sela kosong
lalu turun mendekati hidung
Air mataku mengalir
berjalan pelan
masuk menusuk
Ruh
Air mataku
Bagai ruh
Bagai ruh
mambunuh
Nyata
Sabtu, 30 Mei 2009
Plot Mati
Telah datang memberimu sinar
Dalam cadar
Lampu remang
Mata buyar
Kelam
Telah datang memberimu kabar
Dalam gelap
Lampu padam
Mata lelap
Kelam
Telah datang mengambil bagian
Dalam sepi
Lampu mati
Mata sudi
Nyeri
Telah datang mengambil jiwa
Dalam nyawa
Lampu pecah
Terbang tinggi
Mati
Dalam cadar
Lampu remang
Mata buyar
Kelam
Telah datang memberimu kabar
Dalam gelap
Lampu padam
Mata lelap
Kelam
Telah datang mengambil bagian
Dalam sepi
Lampu mati
Mata sudi
Nyeri
Telah datang mengambil jiwa
Dalam nyawa
Lampu pecah
Terbang tinggi
Mati
Minggu, 24 Mei 2009
enam lima ku
65 ku yang tak pernah tersibak
di tengah rimbunan sanak cendana
ibu…
bisikkan padaku tentang ‘65
tentang kebenaran yang dimakamkan jauh ke dasar
bumi
pagi sebelum terik,
pagi yang buta warna,
matahari belum beranjak dari tidurnya,
dingin, gelap berselimut kabut.
dan tentang pemberangusan arit dan clurit
yang mendepak kolonialis dan kapitalis
sebab,
sejarah membutakanku dengan syair-syairnya
yang merdu
Ketelingaku, ibu…
Jangan biarkan mereka nguping
Kita berdua yang empat mata
Lirih saja…
Lirih saja, ibu
Karena aku tau
Engkau takut diberanguskan juga
Walau kita sudah jauh dari orba
Atau kalau perlu, kuambilkan pahat dan secarik kertas
Biar kau ukir di atasnya
Gundah gulita yang kau pendam puluhan tahun
“dulu kami sering tunggang langgang
sambil terkencing-kencing diantara peluh kesah,
tangis pekik, dan jutaan longsongan mayat.
Juga lautan merah yang hinggap di Indonesia.”
di tengah rimbunan sanak cendana
ibu…
bisikkan padaku tentang ‘65
tentang kebenaran yang dimakamkan jauh ke dasar
bumi
pagi sebelum terik,
pagi yang buta warna,
matahari belum beranjak dari tidurnya,
dingin, gelap berselimut kabut.
dan tentang pemberangusan arit dan clurit
yang mendepak kolonialis dan kapitalis
sebab,
sejarah membutakanku dengan syair-syairnya
yang merdu
Ketelingaku, ibu…
Jangan biarkan mereka nguping
Kita berdua yang empat mata
Lirih saja…
Lirih saja, ibu
Karena aku tau
Engkau takut diberanguskan juga
Walau kita sudah jauh dari orba
Atau kalau perlu, kuambilkan pahat dan secarik kertas
Biar kau ukir di atasnya
Gundah gulita yang kau pendam puluhan tahun
“dulu kami sering tunggang langgang
sambil terkencing-kencing diantara peluh kesah,
tangis pekik, dan jutaan longsongan mayat.
Juga lautan merah yang hinggap di Indonesia.”
aku dan malam
Malam
Kekasih setia tak pernah padam
Selimut hangat
Yang memelukku sebelum terang
Kujanjikan kau tenang
Sebelum kokok ayam diperlintasan teram
Di sana
Secuil percik memancar
Teram temaram lampu atap biru
Lihat
Semua bukan ulahmu
Tuhan lah yang berhak atas itu
Pengatur korden-korden rindu semu
Malam
Selembar kain hitam
Mengurungku seperti drama panggung
Adegan satu hilang
Yang dua datang
Silih berganti
Sampai esok
Sampai aku tak tau kapan waktu
Sungguh engkaulah
bukan lain lagi di hati
Pucuk asmara
Lorong-lorong mencekam
Seperti itulah aku bicara pada malam
Selalu kutemukan kejelasan tentang kehidupan
Katakataku yang tak terlalu manis juga tak pedas
Menghantarkan setiap jengkal ucapan
Tak merdu
Pun sumbang pastinya
Namun malam tetap menyukainya. Hanya dia
Ya hanya dia yang tau ketololanku
(untuk aku dan malam)
Kekasih setia tak pernah padam
Selimut hangat
Yang memelukku sebelum terang
Kujanjikan kau tenang
Sebelum kokok ayam diperlintasan teram
Di sana
Secuil percik memancar
Teram temaram lampu atap biru
Lihat
Semua bukan ulahmu
Tuhan lah yang berhak atas itu
Pengatur korden-korden rindu semu
Malam
Selembar kain hitam
Mengurungku seperti drama panggung
Adegan satu hilang
Yang dua datang
Silih berganti
Sampai esok
Sampai aku tak tau kapan waktu
Sungguh engkaulah
bukan lain lagi di hati
Pucuk asmara
Lorong-lorong mencekam
Seperti itulah aku bicara pada malam
Selalu kutemukan kejelasan tentang kehidupan
Katakataku yang tak terlalu manis juga tak pedas
Menghantarkan setiap jengkal ucapan
Tak merdu
Pun sumbang pastinya
Namun malam tetap menyukainya. Hanya dia
Ya hanya dia yang tau ketololanku
(untuk aku dan malam)
di atas bumi gaza
ini hanya sejumpit kisah
kami torehkan
dalam hari yang hambar
tak pernah tercium bau
wangi embun pagi
Shubuh yang dingin
Embun menyergap erat
Sedang di langit rembulan nampak semu menggelantung.
rumput senja yang penuh bubuk
pun mengalirkan aroma tak sedap
sedang para binatang neraka naik
menuju peraduannya
di atas bumi gaza
kami yang hidup antara bulan merah
kami yang hidup di atas ranah kebisingan
pelangi hanya dua warna
putih dan biru
langit hanya satu warna
merah
udara hanya satu rasa
gerah
sedang jalan hanya lubang-lubang kesengsaraan
bisik pekik melayang ke setiap telinga
tangis kehampaan meradang di pojok-pojok reruntuhan
ujung ke ujung tanpa henti
deru mesium berdentum
derik ekor ular gurun beku
kerlip bintang laun memudar
lenyap
ditelan pancaran kembang senapan
di langit dimensi tiga
kau gelar pertunjukannya
nyanyian sepi bidadari surga
warna-warni bocah ingusan tak berdosa
terkapar membelalak matanya
menggelombang bersama bayang-bayang masa depan
darah mengalir memenuhi tubuhnya
banjir tuhan menelannya
kami torehkan
dalam hari yang hambar
tak pernah tercium bau
wangi embun pagi
Shubuh yang dingin
Embun menyergap erat
Sedang di langit rembulan nampak semu menggelantung.
rumput senja yang penuh bubuk
pun mengalirkan aroma tak sedap
sedang para binatang neraka naik
menuju peraduannya
di atas bumi gaza
kami yang hidup antara bulan merah
kami yang hidup di atas ranah kebisingan
pelangi hanya dua warna
putih dan biru
langit hanya satu warna
merah
udara hanya satu rasa
gerah
sedang jalan hanya lubang-lubang kesengsaraan
bisik pekik melayang ke setiap telinga
tangis kehampaan meradang di pojok-pojok reruntuhan
ujung ke ujung tanpa henti
deru mesium berdentum
derik ekor ular gurun beku
kerlip bintang laun memudar
lenyap
ditelan pancaran kembang senapan
di langit dimensi tiga
kau gelar pertunjukannya
nyanyian sepi bidadari surga
warna-warni bocah ingusan tak berdosa
terkapar membelalak matanya
menggelombang bersama bayang-bayang masa depan
darah mengalir memenuhi tubuhnya
banjir tuhan menelannya
Suatu Saat
Ibu
jika waktu nanti aku kembali
sedang daun-daun tak turun dari tubuhnya
sulamlah namaku pada daun-daun itu
aku ingin menikmati masa sunyi bersama angin
cericit burung dan rebahan embun
yang membasahi setiap lekuk huruf
dan mengalirkan dosa, membuangnya,
lalu mensucikan namaku
hari ini tak lain hari esok
seperti berada dalam selimut mimpi
tak berkaki
Ibu
jika aku kembali dalam sunyi
bertatap muka Sang Segala
yang aku berada di dalamnya
sematkan tubuhku dengan lembut
dengan cinta yang ku pinta
Ibu
jika suatu hari aku mendahuluimu
jangan pernah mengaduh
“Tuhan tak adil”
jangan pernah menuduh
“Tuhan salah orang”
hari ini tak kembali
mungkin lusa atau nanti
jika waktu nanti aku kembali
sedang daun-daun tak turun dari tubuhnya
sulamlah namaku pada daun-daun itu
aku ingin menikmati masa sunyi bersama angin
cericit burung dan rebahan embun
yang membasahi setiap lekuk huruf
dan mengalirkan dosa, membuangnya,
lalu mensucikan namaku
hari ini tak lain hari esok
seperti berada dalam selimut mimpi
tak berkaki
Ibu
jika aku kembali dalam sunyi
bertatap muka Sang Segala
yang aku berada di dalamnya
sematkan tubuhku dengan lembut
dengan cinta yang ku pinta
Ibu
jika suatu hari aku mendahuluimu
jangan pernah mengaduh
“Tuhan tak adil”
jangan pernah menuduh
“Tuhan salah orang”
hari ini tak kembali
mungkin lusa atau nanti
Senin, 11 Mei 2009
bodoh : rembulan
sebab apa kau begitu setia pada malam
sedang tubuhmu hanya semu
mungkin bisa kukatakan “kau tak lebih dari barang mainan”
tak seindah seperti yang kubayangkan waktu kecil
lantas
apa Tuhan mengajarimu kesetiaan
Oo..
nasibmu mungkin tak seperti nasibku
aku bisa mengubahnya sewaktu-waktu
aku ingin duduk, bersandar, tiduran, makan, minum, berjalan, sesukaku
bahkan kalau ada perempuan, aku pun bisa menidurinya
Oo.. alangkah indahnya hidup
berasa nyaman tanpa ada penggoda datang
apa kau tak iri padaku
jangan-jangan kau ingin menerkamku dari belakang
menunggu titik lemahku
lalu
haapp… seperti nyamuk menjilat mangsanya
Lantas
berapa juta kopi yang kau tenggak
berapa juta pil dingin yang kau kunyah
berapa juta selimut yang kau pakai
kalau kau sakit lalu terkapar,
sebab dingin selalu menusuk tulangmu,
apa esok kau masih setia padanya
sudahlah rembulan
kau tak perlu memaksakan diri
tak baik jika kau begadang tiap malam
lihat, wajahmu banyak lubang dan mungkin jerawat
sekujur tubuhmu pucat
darah mengendat
air mata pun tak lagi kau punya
sedang tubuhmu hanya semu
mungkin bisa kukatakan “kau tak lebih dari barang mainan”
tak seindah seperti yang kubayangkan waktu kecil
lantas
apa Tuhan mengajarimu kesetiaan
Oo..
nasibmu mungkin tak seperti nasibku
aku bisa mengubahnya sewaktu-waktu
aku ingin duduk, bersandar, tiduran, makan, minum, berjalan, sesukaku
bahkan kalau ada perempuan, aku pun bisa menidurinya
Oo.. alangkah indahnya hidup
berasa nyaman tanpa ada penggoda datang
apa kau tak iri padaku
jangan-jangan kau ingin menerkamku dari belakang
menunggu titik lemahku
lalu
haapp… seperti nyamuk menjilat mangsanya
Lantas
berapa juta kopi yang kau tenggak
berapa juta pil dingin yang kau kunyah
berapa juta selimut yang kau pakai
kalau kau sakit lalu terkapar,
sebab dingin selalu menusuk tulangmu,
apa esok kau masih setia padanya
sudahlah rembulan
kau tak perlu memaksakan diri
tak baik jika kau begadang tiap malam
lihat, wajahmu banyak lubang dan mungkin jerawat
sekujur tubuhmu pucat
darah mengendat
air mata pun tak lagi kau punya
Langganan:
Komentar (Atom)
 
 

